Sekarang
ini malam jumat, tepat satu minggu yang lalu kami (aku, Nita, Noe, Mbadil,
Ipeh, Bugil, dan Agum) merencanakan mengunjungi Jogja. Waktu itu kami
menetapkan bahwa jam setengah enam pas kumpul di Stasiun Solo Balapan. Jarak
kos menuju stasiun sekitar 15-20 menit. Malam itu sesegera mungkin aku berusaha
untuk tidur lebih awal.
Pagi
pun menjelang. Suara kokok ayam member tanda sang fajar yang segera menampakkan
pancaran sinarnya. Seusai menunaikan shalat subuh, aku memaksakan diri untuk
mandi sepagi itu. Ada yang mencurigakan. Waktu sudah menunjukkan setengah lima
pagi, tapi tak ada satupun dari enam orang yang setidaknya menghubungi atau
berinisiatif membangunkan tidur yang lain. Apakah
hari ini jadi? Benar hari ini kan? Aku dan dua orang diantara mereka
sepakat untuk kumpul di boulevard UNS, sekitar jam lima aku memberanikan diri
keluar kos sendirian. Aku berjalan menyusuri pagi yang masih sunyi.
Sembari
menengok ke arah kanan - kiri - depan - belakang, aku mengirim sms pada yang
lain, menanyakan dimana keberadaan mereka. Yang membuat saya terkejut ketika
Agum mengatakan bahwa dia sudah sampai di Stasiun Solo Balapan. Wah, orang ini sangat menghargai waktu yang
ditentukan kemarin. Selain itu beberapa yang lain membalas kalau mereka
sudah dalam perjalanan.
Sesampainya
di boulevard, aku duduk sendiri di pinggiran batas jalan, menunggu kedua teman
yang sudah berjanji bertemu disana. Waktu terasa lama untuk menunggu mereka
datang, karena mungkin faktor sendirian dan sunyianya UNS kala itu. Namun waktu
juga terasa berputar cepat untuk segera mengejar kereta jam setengah enam yang
sudah dijadwalkan jauh hari sebelumnya. Sesaat kemudian baru tersadar bahwa aku
tidak membawa helm dari kosan. Jika aku kembali, waktu sudah tidak nyandak lagi. Tak apalah, nanti diakali, ujarku.
Beberapa
menit kemudian, duo orang temanku datang. Baiklah, akhirnya kami bertiga
pasukan dari UNS berangkat juga. Demi mengejar setengah enam, kami
kebut-kebutan dijalanan kota yang terlihat masih gelap. Sesampainya di stasiun,
kami segera menaruh sepeda motor. Sebelum itu, di pintu masuk parkiran, bapak
penjaga pemberi kartu karcis berkata, “keretanya baru saja berangkat mbak.” Aku dan Mbadil langsung hening,
bugil yang di belakang belum mendengarnya. Yaudah,
kita masuk dulu aja.
Tebakanku
salah, aku pikir hanya Noe yang mengancam keberangkatan kami mundur. Tak hanya
Noe yang terlambat. Nita terlihat berlalu dari parkiran. Dia datang beberapa
menit lebih awal dari kami. Setelah memarkir motor, terlihat Agum dan Ipeh
duduk manis disana. Raut wajah mereka tetap santai. Seolah memahami kalau kami
memang tak bisa berangkat sepagi itu. Maaf
ya. Noe belum datang. Dia hanya membalas sms ku kalau dia sengaja tidak
tidur.
Kereta
selanjutnya jam 7 kurang. Akhirnya aku dan Mbadil kembali ke fakultas dengan
beberapa urusan, termasuk mengambil helm yang tertinggal. Setelah urusan
selesai, kami lngasung kembali ke stasiun. Semuanya sudah menunggu, kami
bertujuh langsung masuk ke dalam. Positifnya, kami tetap naik kereta Pramek.
Awalnya dijadwalkan jam tujuh ini hanya ada kereta Sriwedari yang harganya dua
kali lipat dari Pramek. Jam sekolah dan kerja sudah berlalu, kami semua
mendapatkan tempat duduk. Kereta mulai bergerak.
Aku
segera membuka sarapan yang dibeli waktu kembali ke kampus tadi. Kupandang Noe,
kasihan, dia mengantuk. Mau tidur tapi sepertinya tak mudah untuknya.
Perjalanan terus berlanjut. Kami bercanda tawa selama di kereta. Sudah lama aku
tidak merasakan berkereta. Kereta yang selalu tepat waktu. Tapi bukankah
terkadang ia mengingkari jadwalnya? Kenapa hari ini tidak? hahaha
Berlanjut
ke Catatan di Jogja
Komentar
Posting Komentar