Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Dasar Hati!

Aku menyusuri jalanan dengan sisa-sisa abu vulkanik Kelud yang belum juga hilang setelah hujan diturunkan untuk menyapunya berkali-kali. Sepatu yang dibeli sampai kuyup malam lampau, aku memakainya dengan bangga. Hari itu aku berdandan cantik dan anggun minimalis . Sayang, sang idola yang aku cari tak juga nampak batang hidungnya di pagi yang cerah itu.  Tanpa menghiraukan pikiranku yang saat itu kacau, aku terus melangkahkan kakiku ke depan. Berharap menemukan 'aku' kembali padaku. Inspirasi yang aku cari disuatu tempat gagal aku dapatkan. Terlalu berat rasanya isi kepala ini. Rasa lelah pun cepat datang ketika pikiran sedang kacau seperti sekarang. Sudah bulan Maret. Sudah berkepala dua. Sudah seharusnya tak lagi meminta. Yang seharusnya tak manja. Pikiran-pikiran yang meracau pun sepertinya sangat paham kapan mereka harus datang menghampiriku.  Langkahku mulai gontai, sekuat tenaga aku jaga agar jangan sampai terjatuh dalam bayangan hitam itu. Kosong. Pikiran ini

Jogja Berempat: Malam Pelangi

Sebelumnya, Jogja Berempat: Hujan Solo dan Malioboro Meter demi meter jalanan kami lalui, sesampainya di depan gerbang kawasan TNI AU, kami mendapati plat yang bertuliskan ‘Museum Dirgantara 500 meter lagi’. Kami hanya tersenyum dan langsung melanjutkan langkah kaki. Sebelum masuk kawasan TNI AU, kartu identitas salah satu dari kami diberikan kepada petugas dibagian pos depan gerbang sebagai tanda bukti pengunjung. Sepanjang jalan yang kami lalui terdapat mess-mess TNI AU, sekolah-sekolah dan rumah dinas lainnya. Satu belokan lagi dan kami akan sampai di Museum pesawat terbesar dan satu-satunya di Indonesia.  Didepan sebelum pintu masuk Museum, pengunjung disuguhkan pesawat-pesawat bersejarah dibeberapa tempat. Saat ini langkah kaki sudah siap memasuki Museum. Tiket masuk sebesar Ro 18.000, termasuk 2 kamera yang dibawa. Setelah menitipkan barang-barang, kami segera masuk dan berkeliling Museum. Banyak yang dapat dipelajari disana. Selain dipampang foto-foto panglima TNI AU

Jogja Berempat: Hujan Solo dan Malioboro

Kali ini perjalanan ke Jogja dengan tiga orang teman seperjuangan. Mbak Cu, Mbadil, dan Emi. Sudah lama kami merencanakan pergi bersama, tetapi waktu baru mengijinkan kami akhir Januari lalu. Tak kami sia-siakan lagi kesempatan itu. Ada beberapa target wisata yang akan kami kunjungi kali ini. Sepanjang jalan Malioboro, Taman Pintar, Museum Pesawat Dirgantara, dan Taman Pelangi beserta Monumen Jogja Kembali. Keberangkatan pagi itu diselimuti mendung pekat, kami juga diguyur hujan deras dan diiringi kilatan petir. Tiga orang dari kami berangkat dari stasiun Solo Balapan, satu yang lain menunggu kereta di daerah rumahnya, Klaten. Kami bertiga berangkat sekitar jam lima dari Stasiun Solo Balapan. Pagi itu kami menaiki kereta Pramex dengan harga tiket Rp 10.000. Kereta tak terlalu padat, kami mendapat tempat duduk. Kereta terus melaju, beberapa kali berhenti di stasiun-stasiun lainnya. Kali ini hampir sampai di stasiun Klaten. Kami yang terus berkomunikasi dengan Emi, mengabar

Kepercayaan Itu Mahal

Di desaku saat ini sedang berlangsung pembangunan pesantren khusus laki-laki. Pesantren yang dibangun dengan gotong-royong warga setempat ini merupakan perluasan dari bangunan yang sebelumnya di daerah lain. Pesantren ini dibangun dengan penuh perjuangan, meski berjalan lambat karena hambatan dana, pembangunan terus berlanjut. Tanah yang dibangun adalah tanah wakaf dari beberapa dermawan, dana yang digunakan merupakan hasil jerih payah para pencari donatur berlari kesana-kemari. Sekitar satu bulan lalu, 40 anak dari pesantren yang sebelumnya sudah mulai dipindahkan ke desa. Untuk sementara waktu, 40 anak tersebut menggunakan dua rumah warga dalam proses pembelajaran dan sebagai rumah hunian. Ketua dari pembangunan pesantren ini adalah salah satu tokoh masyarakat di sini, beliau salah satu orang kepercayaan Lurah desa. Walaupun demikian, diduga ada kongkalikong antara ketua pembangungan pesantren dengan pihak-pihak tertentu, diperkuat dengan warga yang gelisah karena tidak ada yang

Balaslah Sapaanku Kelak

Rizqi Choirunnisa (kedua dari kiri), bersama skuad Kementerian Sosial Masyarakat Kabinet Kerja Bhakti BEM FSSR UNS. Foto diambil pada 24 April 2011. "Bagi yang ingin menyolatkan adik saya Rizqi Choirunnisa' dipersilahkan...." Setelah mendengar kalimat itu, sepertinya akulah yang dipanggil. Aku mendengar namaku dibicarakan dimana-mana atas berita kepergian karena kecelakaan pagi itu. Ya , namaku yang secara pelafalan begitu mirip. Hari Jumat itu, Solo sangat terik, rombongan beberapa orang dari BEM FSSR dan Sastra Arab berkumpul dan berangkat bersama ke rumah duka. Ditengah jalan perbatasan Boyolali, tiba-tiba mendung menyatu menyelimuti kami, tak lama kemudian hujan pun turun. Seperti mendinginkan kami yang sedari tadi merasakan panasnya uap aspal di jalanan. Rombongan depan memberhentikan laju motornya, satu dari yang lain mengatakan, "Rumahnya sudah dekat kok ". Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa mengenakan jas hujan. Tak s