Tampak matahari sudah 45 derajat di arah timur Stasiun Solo
Balapan. Setengah jam aku menanti kereta melintas di atas rel
pemberhentiannya. Yang dinanti akhirnya datang. Para penumpang segera menyerbu pintu masuk di tiap gerbong
kereta. Tak terkecuali aku yang juga ingin mendapatkan tempat senyaman
mungkin.
Kereta
melaju dengan menyajikan panorama kota dan alam. Hijaunya
hamparan sawah kerap terlihat jelas didalam bingkai-bingkai jendela.
Aku berbincang banyak
dengan seseorang yang bersamaku saat di kota asal tadi. Menikmati frame demi frame yang disuguhkan.
45 menit berlalu dan kalimat berjalan di dinding kereta pun memberikan tanda pemberhentian terakhir. Seperti tujuan yang kurencanakan. Keluar
dari stasiun, panas matahari tepat diatas kepala. Aku memutuskan
untuk mencari tempat ibadah terlebih dahulu sebelum menjelajah Malioboro yang panas ini.
Tak perlu kuceritakan detail bagaimana Malioboro saat itu.
Malioboro tetap sama seperti biasanya. Para pedagang yang berbanjar di selter-selter
pejalan kaki. Delman yang hilir mudik dengan suara khas tapakan sepatu kuda.
Dan juga senyum ramah dari pengayuh becak di tiap persimpangan jalan. Maliboro tetap dengan kesibukannya. Hanya orang di kereta tadi yang membuat
tiap langkah yang aku lalui terasa berbeda. Dia yang senyumnya tampak nyata dan begitu melekat.
Tak terasa jalan Malioboro telah kutelusuri sampai ujungnya. Langkahku terhenti. Benda mungil seperti memanggilku. Dia berada di antara kawan-kawan sejenisnya. Berhamburan di bawah. Aku tergiur untuk memilikinya. Benda yang menyerupai hewan dengan sayapnya yang indah. Kini Malioboro lagi-lagi bertambah tak biasa. Selain oleh orang yang senyumannya sejak tadi melekat, kini ada benda bersayap itu juga yang melekat begitu dekat. Disini.
Komentar
Posting Komentar