Gedung Sate | by : Adyla Haquee |
Selama satu bulan menapakkan kaki di kota
Bermartabat, banyak kebiasaan-kebiasaan yang ditemui dan menjadi tanda tiap
hari. Seperti ketika tiap pagi sebelum berangkat magang, selalu terdengar lengkingan
khas ibu penjual makanan. "Lalawuhan, pisang, nasi kuniiiing.."
Seperti tak ada lelah, dengan langkah cepat dan suara lantangnya, ibu itu
membanting tulang menyetrika jalan depan rumah untuk menjajakkan jualannya.
Tapi entah mengapa pagi tadi sayup-sayupnya pun tak mendengar olehku. Ada satu
lagi teriakan khas pagi hari. "Susuuuuk susuuuk." Pedagang yang menjual
susu murni juga sering lewat depan rumah dengan gayanya. Ditambah suara ini
sangat mirip dengan mas Deden, salah satu karyawan ditempat magang.
Kebiasaan lain ketika di lampu merah. Banyak pengendara motor yang menyalahi garis batas stop. Jika dirasa sudah tak ada motor yang melintang dari arah lain, tanpa memperhatikan lampu bangjo sudah berwarna hijau atau belum, mereka segera melaju memotong jalan. Kebiasaan itu membuat kami mau tidak mau harus beradaptasi dengan riuhnya jalanan kota Bandung. Aku sering melihat motor dijalanan yang tidak berplat nomor belakang, padahal beberapa tempat persimpangan ada pak polisi yang mengatur jalan. Hal ini seperti hanya bisa harap maklum, karena terlalu padatnya kendaraan di jalanan. Dibanding Solo, yang aku perhatikan selama ini hanya sedikit pengendara motor perempuan yang terlihat di Bandung. Perbandingannya beda jauh dengan pengendara laki-laki yang menguasai jalanan kota. Banyak dilihat para lelaki menyembulkan asap-asap rokok yang telah dihisapnya saat sedang menunggu lampu merah yang sering membuat jenuh, bahkan saat keadaan masih berkendara. Kemanapun pergi, pasti ada saja orang yang mengendarai motor sambil merokok, tangan kanan untuk gas, dan kiri untuk rokok.
Kebiasaan lain ketika di lampu merah. Banyak pengendara motor yang menyalahi garis batas stop. Jika dirasa sudah tak ada motor yang melintang dari arah lain, tanpa memperhatikan lampu bangjo sudah berwarna hijau atau belum, mereka segera melaju memotong jalan. Kebiasaan itu membuat kami mau tidak mau harus beradaptasi dengan riuhnya jalanan kota Bandung. Aku sering melihat motor dijalanan yang tidak berplat nomor belakang, padahal beberapa tempat persimpangan ada pak polisi yang mengatur jalan. Hal ini seperti hanya bisa harap maklum, karena terlalu padatnya kendaraan di jalanan. Dibanding Solo, yang aku perhatikan selama ini hanya sedikit pengendara motor perempuan yang terlihat di Bandung. Perbandingannya beda jauh dengan pengendara laki-laki yang menguasai jalanan kota. Banyak dilihat para lelaki menyembulkan asap-asap rokok yang telah dihisapnya saat sedang menunggu lampu merah yang sering membuat jenuh, bahkan saat keadaan masih berkendara. Kemanapun pergi, pasti ada saja orang yang mengendarai motor sambil merokok, tangan kanan untuk gas, dan kiri untuk rokok.
Menyorot mobil-mobil dijalanan, setelah aku perhatikan dengan seksama banyak diantaraya adalah ibu-ibu yang mengendarai mobilnya saat pergi ke kantor. Bahkan tak sedikit dari para ibu perkasa itu mengemudikan mobil-mobil yang berukuran besar. Mereka tak kalah keren dengan para lelaki. Kebanyakan mobil pribadi, jelas itu yang membuat padatnya jalanan yang menjadi-jadi. "Tak hanya Jakarta, Bandung juga macet," kata salah satu karyawan di tempat magang saat sedang bercerita tentang kemacetan jalanan di Bandung.
Kami melewati lima rambu-rambu lalu lintas untuk sampai ke tempat magang. Banyak ditemui pengemis dan pengamen jalanan. Disini pengemis dan pengamen lebih bervariasi daripada daerah Solo. Dari ibu-ibu yang menggendong anaknya, lengkap dengan make up lusuhnya. Nenek-nenek dengan kostum gembelnya. Kakek-kakek yang berpakaian agak nyetil dan malah terlihat tidak memenuhi syarat sebagai pengemis. Topeng monyet dengan perlengkapan lengkap untuk pertunjukannya yang sangat melelahkan. Bermodus sumbangan. Lantunan musik sunda dari suling bambu. Penari dengan make up tidak ratanya. Pemain biola yang menyerbu angkot-angkot yang melintas, padahal ruang untuk bergerakpun sudah sangat sulit. Orang yang melumuri tubuhnya dengan cat berwarna alumunium lengkap dengan kaca mata mengkilapnya. Orang buta yang dituntun. Orang yang menggendong seorang lainnya, sepertinya sepasang suami istri. Sampai anak-anak kecil yang masih berumuran 4-5th.
Hatiku sempat ngilu ketika melihat anak yang kira-kira masih berumur 7th bernyanyi dengan menggenjrengkan gitar mininya persis didepan lampu bangjo. Tak lama kemudian disusul sosok kecil yang mengikuti, kira-kira selisih 3th dibawahnya. Dengan sigap anak berusia 4 tahun itu mendatangi para pengendara motor untuk meminta koin-koin hasil pertunjukan kakaknya. Seperti sudah paham apa yang harus dia lakukan ketika kakaknya sedang bernyanyi. Aku tertampar. Adik-adik kecil itu baru berapa tahun lahir ke dunia, tapi sudah merasakan kerasnya hidup di kota. Sungguh malang nasibnya. Aku hanya bisa berdoa semoga mereka semua mendapatkan jalan yang lebih baik dari sekedar mengemis dan mengamen.
Itulah beberapa kebiasaan dan hal-hal unik yang ditemui di Bandung satu bulan ini. Aku yakin pasti suatu saat akan rindu dengan hal-hal tersebut, riuhnya kota Bamdung. Hanya berharap satu bulan kedepan terasa lebih cepat dari satu bulan kemarin. Masih banyak tumpukan jadwal yang harus dikerjakan. Halo simb, be, mbrot, ar, mbah, halo IIP, halo kamu, halo Pengkol, halo Solo, halo Kosan, halo Kampus, halo BEM, halo teman-teman. Aku kangen kalian. Aku disini baik-baik saja. Semoga kalian juga begitu.
Aku dan Mbadil | Malam Bandung depan Gedung Sate |
Komentar
Posting Komentar