Pekerjaan seperti apa yang kamu citakan? Sungguh ironis jika ada anak menjawab ngamen sebagai pekerjaannya kelak. Ngamen sudah menjadi pekerjaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua mengabdikan diri kepada profesi yang bergelut sengit dengan jalanan.
Ada yang hanya sekedar bertepuk seadanya dengan kedua belah tangan mereka, ada pula berbagai macam alat peraga dibawanya. Kebanyakan kutemui pengamen individual daripada berkelompok. Gayanya segala rupa, dari kostum yang dekil hingga nyetil menggunakan kemeja dan sepatu kinclong.
Alangkah kontrasnya ketika kulihat salah satu dari mereka yang hendak meminta recehan seusai manggung kilat menyempatkan diri mengecek handphone layar lebar dari sakunya. Tanpa canggung dia menampakkan kemewahannya pada kami penumpang bus kecil jurusan Krisak pagi itu. Aku hanya tersenyum kecut melihat bapak belum paruh baya yang berkemeja necis berwarna putih, nampak matching dengan sepatu slop yang ia kenakan. Tubuh bapak itu lengkap tak kurang suatu apapun, tinggi kekar, tampak gagah. Sungguh disayangkan bukan, dia memilih ngamen sebagai mata pencahariannya.
Entah apa alasan bapak itu memutuskan untuk jadi pengamen berstyle klise dengan recehan yang ia kumpulkan keping demi keping. Benar, semua orang berhak atas pekerjaan yang ia pilih. Entahlah, aku tak bisa menerawang jauh tentang bapak itu. Hanya saja, apa lebih bangga jadi pengamen daripada kuli bangunan? Atau mungkin derajat jadi pengamen lebih tinggi? Entahlah.
Ada yang hanya sekedar bertepuk seadanya dengan kedua belah tangan mereka, ada pula berbagai macam alat peraga dibawanya. Kebanyakan kutemui pengamen individual daripada berkelompok. Gayanya segala rupa, dari kostum yang dekil hingga nyetil menggunakan kemeja dan sepatu kinclong.
Alangkah kontrasnya ketika kulihat salah satu dari mereka yang hendak meminta recehan seusai manggung kilat menyempatkan diri mengecek handphone layar lebar dari sakunya. Tanpa canggung dia menampakkan kemewahannya pada kami penumpang bus kecil jurusan Krisak pagi itu. Aku hanya tersenyum kecut melihat bapak belum paruh baya yang berkemeja necis berwarna putih, nampak matching dengan sepatu slop yang ia kenakan. Tubuh bapak itu lengkap tak kurang suatu apapun, tinggi kekar, tampak gagah. Sungguh disayangkan bukan, dia memilih ngamen sebagai mata pencahariannya.
Entah apa alasan bapak itu memutuskan untuk jadi pengamen berstyle klise dengan recehan yang ia kumpulkan keping demi keping. Benar, semua orang berhak atas pekerjaan yang ia pilih. Entahlah, aku tak bisa menerawang jauh tentang bapak itu. Hanya saja, apa lebih bangga jadi pengamen daripada kuli bangunan? Atau mungkin derajat jadi pengamen lebih tinggi? Entahlah.
Komentar
Posting Komentar