Seperti biasa, saat segala rutinitas pagi hari dirasa cukup,
kuluangkan waktu untuk membuka media sosial. Masih terlalu dini saat aku
digelitik oleh salah satu kicauan yang kutemukan tak lama setelah ku asik
berselancar. “Baru bangun tidur serasa berada di jaman Orde Baru,” kira-kira
seperti itulah yang ditangkap oleh pandanganku. Ya, hari ini baru saja utusan-utusan
yang berpolemik di senayan mengetuk palu dimana hasilnya membuat dunia maya
begitu bawel.
Pagi ini tampaknya aku sudah kenyang melahap berbagai jenis
cacian yang terhidang dihadapanku. Sepertinya banyak orang yang memulai hari
dengan kejengkelan. Ah ternyata tidak juga, masih ada yang membungkusnya dengan
guyonan. Bahkan memang ia ber-guyon serius? Sungguh aku tak tahu.
Aku teringat enam belas tahun lalu. Saat bulan ke lima di
tahun itu mencatatkan perjalanan panjang dari para musuh negara. ‘Musuh’,
karena mereka dibenci oleh para elit-elit yang merupakan musuh tersamarkan. Dimana
mereka di cecar untuk dinikmati darahnya. Aku bukanlah bagian dari sejarah kelam
itu, namun aku merasakan aromanya sampai saat ini. Mereka membuka keran
demokrasi yang disumbat selama 32 tahun, yang pada akhirnya kita nikmati
sekarang.
Setelahnya, bangsa ini mencoba belajar dan terus belajar.
Pesta akbar demokrasi dirasakan kembali saat rakyat memilih langsung para
pemimpin dan wakilnya. Kepala daerah berprestasi mulai berdatangan.
Menyingkirkan muka lama yang dianggap mempertahanakan boboroknya tradisi. Namun
tak sedkit pula yang bertahan dengan dua kaki atau bahkan memilih beradaptasi.
Kejadian di Jumat ini
tentu membuat was-was. Beberapa hari sebelumnya, sebuah terbitan online memuat perkataan dari salah satu
pemimpin daerah. Intinya, Pilkada tak langsung akan mengecilkan kesempatan bagi
pemimpin-pemimpin yang tak mainstream
(keluar dari kebiasaan). Aku pun mengamini agumen tersebut.
Aku yakin Pertiwi ini bosan dengan anak cucunya yang tak
amanah dalam mengemban harapan. Sang Pertiwi inginkan sosok diluar dari
kebiasaan yang dinanti kehadirannya. Seandainya kebijakan ini akan terus
berlanjut, aku takut tak dapat lagi menemukan pemimpin-pemimpin yang kilaunnya dirindukan
banyak orang. Aku takut kondisi duapuluhan dekade kebelakang akan terualng
kembali. Lebih kepada para pememipin negeri yang tak tahu diri.
Tentunya banyak yang berharap segalanya akan menuju kearah perbaikan.
Semoga saja, untuk Pertiwiku.
Komentar
Posting Komentar