Sabtu pagi aku pulang dengan naik bus seperti biasa. Setelah oper bus lain, kali ini aku duduk di dekat jendela, samping pintu depan. Disebuah persimpangan, bus menepi lagi untuk menaikkan penumpang yang menyetopnya. Seorang tunanetra dibantu naik dan segera duduk disampingku yang masih kosong waktu itu.
Awalnya aku hanya sibuk bermain dengan handphone biruku, sampai akhirnya ibu disampingku bertanya "sudah sampai proliman?". Sebenanrnya sedari tadi aku mau menanyakan dimana ibu ini akan turun, tetapi pertanyaan belum sempat keluar dari mulut, sudah saja ibu bertanya kepadaku. "belum buk." seketika kujawab pertanyaan singkat beliau tanpa basa-basi menyapaku terlebih dulu. Setelah pertanyaan pertama, kami mulai berbincang tentang beberapa hal. Beliau bercerita kalau sedang dalam perjalanan menjemput anaknya yang bersekolah di SLB. Anaknya manja, berumur empatbelas tahun, kasihan kalau disuruh pulang sendiri.
Mengantar jemput sudah menjadi kegiatan rutin ibu yang berpawakan kurus kecil ini. Subhanallah bukan, orang tunanetra bisa bepergian kemanapun tanpa bingung dengan keterbatasan yang ada? Secara langsung aku diingatkan dengan sikap manjaku yang sering mengeluh karena tidak ada motor di kosan, alesan tidak bisa kemana-mana karena tak tahu arah, dan segala alasan lainnya. Memalukan sekali bukan setelah tahu secara langsung bagaimana ibu ini berjuang setiap hari dengan kegelapan yang selalu setia menemaninya? Ditambah lagi masih harus oper beberapa kali untuk bisa sampai sekolah anaknya yang berada di Jagalan, perjuangan yang tidak mudah, ibu.
Aku harus selalu bersyukur diberi kondisi lengkap seperti sekarang. Aku belajar dari ibu tunanetra yang duduk disampingku waktu itu. Setelah tak banyak cerita, akhirnya sampai juga di proliman Sukoharjo, tujuan pertama yang dimaksud. Segera saja ibu yang tak sempat kutanya namanya ini bergegas turun, beliau menyapaku dan mengucapkan terimakasih. Beliau turun dengan raut cemasku yang tidak bisa dilihatnya. Setelah dibantu pak kenek dan sampai di pinggir badan jalan, ibu itu merogoh tongkat alumunium di dalam tas hitamnya, salah satu alat bantu melihat dunia. Di luar dari kekhawatiranku, tidak nampak sedikit pun rasa takut dari beliau.
Hati-hati buk, terimakasih atas pelajaran hidup yang hampir aku lalaikan. Terus semangat menjalani hidup nggih buk.
Awalnya aku hanya sibuk bermain dengan handphone biruku, sampai akhirnya ibu disampingku bertanya "sudah sampai proliman?". Sebenanrnya sedari tadi aku mau menanyakan dimana ibu ini akan turun, tetapi pertanyaan belum sempat keluar dari mulut, sudah saja ibu bertanya kepadaku. "belum buk." seketika kujawab pertanyaan singkat beliau tanpa basa-basi menyapaku terlebih dulu. Setelah pertanyaan pertama, kami mulai berbincang tentang beberapa hal. Beliau bercerita kalau sedang dalam perjalanan menjemput anaknya yang bersekolah di SLB. Anaknya manja, berumur empatbelas tahun, kasihan kalau disuruh pulang sendiri.
Mengantar jemput sudah menjadi kegiatan rutin ibu yang berpawakan kurus kecil ini. Subhanallah bukan, orang tunanetra bisa bepergian kemanapun tanpa bingung dengan keterbatasan yang ada? Secara langsung aku diingatkan dengan sikap manjaku yang sering mengeluh karena tidak ada motor di kosan, alesan tidak bisa kemana-mana karena tak tahu arah, dan segala alasan lainnya. Memalukan sekali bukan setelah tahu secara langsung bagaimana ibu ini berjuang setiap hari dengan kegelapan yang selalu setia menemaninya? Ditambah lagi masih harus oper beberapa kali untuk bisa sampai sekolah anaknya yang berada di Jagalan, perjuangan yang tidak mudah, ibu.
Aku harus selalu bersyukur diberi kondisi lengkap seperti sekarang. Aku belajar dari ibu tunanetra yang duduk disampingku waktu itu. Setelah tak banyak cerita, akhirnya sampai juga di proliman Sukoharjo, tujuan pertama yang dimaksud. Segera saja ibu yang tak sempat kutanya namanya ini bergegas turun, beliau menyapaku dan mengucapkan terimakasih. Beliau turun dengan raut cemasku yang tidak bisa dilihatnya. Setelah dibantu pak kenek dan sampai di pinggir badan jalan, ibu itu merogoh tongkat alumunium di dalam tas hitamnya, salah satu alat bantu melihat dunia. Di luar dari kekhawatiranku, tidak nampak sedikit pun rasa takut dari beliau.
Hati-hati buk, terimakasih atas pelajaran hidup yang hampir aku lalaikan. Terus semangat menjalani hidup nggih buk.
Komentar
Posting Komentar