Ramadhan kian berlalu, meninggalkan umat muslim di seluruh penjuru. Bulan istimewa yang selalu dinanti kedatangannya. Takbir kemenangan mulai terdengar dikumandangkan, menggema ke seluruh ruas-ruas kota. Hari kemenangan sekaligus hari perpisahan untuk bulan seribu bulan. Tak ada satupun orang menolak untuk bertemu denganmu di tahun-tahun berikutnya.
Satu sudut yang selama ini tidak terlalu kupikirkan. Setelah takbir memecah riuhnya alam, setelah ribuan umat muslim melaksanakan shalat Idul Fitri, kujabat tangan renta itu, kucium, dan kudengar keluh kesah di hadapannya langsung. Hampir satu abad, mbah kakung masih cukup mandiri dan bugar. Tak pernah kudengar beliau menggertak marah karena suatu hal, tak pernah sekalipun. Hanya terkadang mengeluh sakit. Maklum, waktu yang membawanya ke titik itu. Alhamdulillah simbah masih diberikan umur panjang, karena tak sedikit rekan perjuangannya, bahkan istrinya dipanggil terlebih dulu.
Rumah berisikan 6 orang. Ketika aku, bapak, dan ibu kerja, adik-adik sekolah, simbah sendirian di rumah. Pagi setelah kerumunan halal bi halal di depan Mushola, aku menghampiri kakung, meminta maaf. "Kapan pulangmu?" Kakung juga sudah pikun. Beliau tanya dimana keberadaanku beberapa hari ini. Padahal aku juga selalu di rumah setelah pulang kerja. Beliau juga terkadang susah membedakan antara aku dan adikku. Waktu yang terus saja berjalan membuat kita bertumbuh kembang dan akhirnya melemah.
Di hari kemenangan kemarin, kakung bercerita. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Disaat rumah sepi, disaat hanya raganya yang mengisi, beliau sering kali memikirkanku, cucu-cucunya, anak-anaknya. Tak lepas dari seputar itu, setiap hari di ruang yang sering sepi.
Usianya tak lagi muda, namun jiwanya tak mau kalah dengan usia. Kakung ingin pergi kemana-mana, jalan-jalan ke toko depan, menyambangi tempat saudara lain, mungkin juga ingin bertemu teman-temannya yang masih ada di luar sana. Namun karena kondisi, karena jalannya tak sempurna, dan fisiknya yang tak lagi perkasa, beliau menyadari dan mengurungkan niatnya. Memilih duduk manis di rumah, dan tak jarang hanya berteman dengan sepi.
Tak tahan aku mendengar ceritanya, keinginan yang sederhana bukan? Ya, bagi kita yang masih kuat berdiri sendiri. Kupegang tangannya, kulit yang kian mengendur seolah bercerita dengan isyaratnya. Aku mengaca untuk diriku sendiri. Akan seperti apa saat senja nanti? Akankan rasa sepi setiap hari yang kujalani? Ataukah mungkin tidak merasakan usia senja? Wallahualam. Allah yang mengatur semuanya.
Ketika sanak saudara berkumpul, yang pertama dituju mbah kakung. Namun setelah itu, jarang kulihat ada yang mengobrol lama dengan kakung. Diam. Beliau terlihat sering diam, melihat keramaian yang lama tak dirasakan. Selain pikun simbah juga sudah kurang pendengarannya. Tiap kali ajak bicara harus keras, didekatkan gendang telinganya. Usia senja.
Jika tidak ada kakung, tidak mungkin juga ada aku sekarang ini. Adik-adikku, teman-teman, bahkan bapak ibuku yang sekarang. Sehat terus ya kung.
Allah yang mengatur semua skenario cerita. Kita sebagai ciptaan hanya bisa berusaha dan berdoa yang terbaik, untuk hidup di dunia, dan nanti di akhirat. Fighting for a better future ya..
Suro Setiko |
Komentar
Posting Komentar