Sepulang kerja setelah menaruh peralatan tempur kantor, aku langsung disuruh ke dapur, melahap mi instan yang hangatnya nyaris hilang karena sudah dihidangkan beberapa waktu lalu.
Kuambil rambak (kerupuk) di tas, melihatku kriak kriuk makan kerupuk sebagai lauknya, Ibu kemudian tanya, "Lho, kog dapet 'rambak'? Darimana?"
"Abis beli dari masjid buk, yang jual simbah-simbah", jawabku.
"Abis beli dari masjid buk, yang jual simbah-simbah", jawabku.
Setelah itu, kuceritakan sedikit tentang nenek penjual rambak tadi. Selain rambak, simbah tadi juga menjual telur, dan beberapa bungkus kacang tanah yang disangray. Beliau menjajakkan dagangannya di Masjid Besar Baiturrohman Sukoharjo. Lapak yang amat sederhana ia gelar dipinggiran masjid dekat parkiran motor, hampir-hampir tidak nampak ada seorang penjual disitu. Bagaimana tidak, hanya ada bangku kecil berselimut karung plastik bekas dan tempat duduk yang beralaskan tumpukan karung juga.
Awalnya simbah berusia senja itu mengaku membuka lapaknya di taman tengah depan masjid, tempat strategis yang jelas banyak orang yang tau. Namun karena lokasinya ramai dan posisi tengah taman berundak, simbah kepayahan untuk berlalulalang disana, ditambah badannya yang bungkuk membuat langkahnya cukup susah naik turun tangga kecil di kitaran taman.
Beliau bercerita mulai menggelar dagangannya bakda dhuhur sampai bakda isya, diantar jemput oleh anaknya. Sudah cukup lama kuperhatikan simbah yang aku sendiri belum tau namanya itu saat mampir di Masjid Besar Sukoharjo untuk shalat maghrib. Tubuhnya yang renta selalu kutemukan disudut pojok barisan terdepan shaf putri. Ketika niatku membeli dagangannya, beliau masih saja duduk di pojok sana. Mungkin sekalian menunggu shalat Isya, barulah setelah itu kembali ke tempat jualan yang ia tinggalkan begitu saja. Sembari berdagang, tak lupa ia tunaikan kewajibannya shalat tepat pada waktunya. Hanya sedikit orang yang kulihat perhatian dengan simbah, padahal aku yakin banyak sekali orang yang singgah di masjid besar ini dari waktu Dhuhur siang tadi sampe Isya. Namun dagangannya kulihat masih cukup banyak di atas meja jualnya.
Terharu, prihatin, sekaligus miris melihatnya. Dengan tubuh bungkuk dan lamban untuk berjalan, tak membuat simbah ini meminta belas kasih seperti orang yang berbadan sehat, lebih muda, dan kuat di luar sana. Semangatnya berjualan tanpa mental mengemis pun ia pegang erat. Aku tertegun mendengar jawabannya yang selalu menggunakan krama alus, padahal beliau tau aku jauh lebih muda dibandingnya.
Hey, kamu yang masih kekar, kuat, lengkap sehat wal afiat, apa kamu ndak malu sama nenek ini? Walaupun penghasilannya sedikit, tapi insyaAllah berkah tanpa mengemis. Tidak menengadahkan tangan yang kosong demi mengais recehan dari satu tempat ke tempat lain. Apa kamu ndak eman sama tubuh sehat kamu yang masih bisa lebih banyak berkreasi ketimbang mengemis di jalanan?
Sampai malam hari pun simbah tak lengah dan tak pernah kulihat mengeluh dengan keadaannya. Beliau membuatku mengaca pada diri sendiri, mengajariku untuk selalu bersyukur tanpa terus mengeluh hanya karena hal-hal sepele, dan juga menyentilku kalo masih saja 'nanti' untuk panggilan menunaikan kewajiban.
Sehat terus nggih mbah..
Komentar
Posting Komentar